KLB Difteria 2017
Apa yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Diphteri?
Difteri kembali merebak, Kementerian Kesehatan bahkan telah menetapkan status KLB (Kejadian Luar Biasa) untuk kasus Difteri di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan melaporkan terdapat 20 provinsi yang melaporkan penemuan kasus Difteri. Terdapat 95 Kabupaten dan Kota dari 20 provinsi tersebut. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal.
Difteri merupakan infeksi yang berbahaya dan sangat menular. Berbahaya karena dapat menyebabkan kematian melalui obstruksi laring dan faring (jalur pernafasan) dan miokarditis (infeksi pada otot miokardium jantung).
Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheria. Penyebaran terjadi melalui droplet dari pasien maupun seorang karier yang membawa bakteri namun tanpa gejala. Difteri menyerang Faring, Tonsil, Laring, selain itu pada kasus KLB kali ini telah dilaporkan adanya kasus Difteri Hidung dan Kulit. Bakteri tsb memiliki eksotoksin yang dapat menyebabkan peradangan pada otot jantung dan juga obstruksi pada laring, gagal ginjal serta gagal sirkulasi.
Penyebaran Difteri dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:
- Penyebaran melalui droplet, umumnya melalui bersin & batuk
- Barang- barang yang terkontaminasi bakteri, misalnya: handuk atau mainan
- Sentuhan melalui luka borok difteri pada kulit
Bakteri Difteri memiliki masa inkubasi sekitar 2 – 5 hari. Ada beberapa gejala yang menyertai penyakit ini:
- Terdapat lapisan tipis berwarna putih abu abu yang menutupi tenggorokan dan tonsil. Membran tsb mudah berdarah jika dilepaskan.
- Demam dan menggigil
- Nyeri tenggorokan dan suara serak
- Sulit bernafas dan nafas cepat
- Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher
- Lemas dan lelah
- Pilek, awalnya cair dan setelah beberapa waktu akan menjadi kental dan bercampur darah
- Difteri terkadang juga dapat menyebabkan luka borok pada kulit. Luka borok tsb dapat sembuh dalam beberapa bulan, umumnya akan meninggalkan bekas
Sebenarnya, kasus Difteri sempat tidak ada sejak tahun 1990an dan kembali muncul sejak 2009. Sehingga, pada dasarnya difteri bukanlah penyakit baru melainkan kasus lama yang kembali muncul. Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu, apabila ditemukan 1 kasus difteria klinis dinyatakan sebagai KLB. Pertama kali muncul di provinsi Jawa Timur dan terus menyebar hingga menjadi 20 provinsi pada November 2017.
Difteri merupakan penyakit yang dapat ditangkal melalui vaksinasi. Vaksin ini minimal diberikan 3x seumur hidup, dapat diulang setiap 10 tahun sekali.
Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah sayu tahun) sebanyak tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak satu bulan.
Selanjutnya, diberikan imunisasi lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak satu dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas 1 diberikan satu dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas 2 diberikan satu dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas 5 diberikan satu dosis vaksin Td.
Kembali munculnya kasus difteri memberikan pertanyaan, apakah yang menyebabkan infeksi ini kembali menyerang? . Menurut IDAI, hal tersebut bisa disebabkan oleh:
1. Cakupan Imunisasi Gagal Mencapai TargetAngka cakupan imunisasi di Indonesia sangat bervariasi bergantung dimana dan oleh siapa survey tsb dilakukan. Pencatatan riwayat imunisasi yang kurang akurat menyebabkan data yang kurang akurat. Seringnya kebiasaan kecil semacam lupa menaruh dimana atau lupa membawa buku KMS sehingga pencatatan pun tidak maksimal. Adanya “ immunity gap” yakni suatu kelompok yang memiliki kekebalan imun kosong karena memang tidak melakukan imunisasi. Di beberapa daerah, adanya kampanye yang menyebutkan efek-efek negatif vaksin seperti autis menyebabkan banyak kalangan menolak melakukan imunisasi. Selain efek samping vaksin, ada banyak faktor yang menjadi alasan sebagian orang untuk tidak melakukan imunisasi.
2. Imunisasi gagal memberikan imunitas maksimal pada anakHal tersebut bisa terjadi akibat tidak lengkapnya jadwal imunisasi. Kitapun harus memastikan ulang ‘’ Cold Chain” atau tempat penyimpanan vaksin sudah sesuai standard yang berlaku, transportasi vaksin hingga tanggal kadaluarsa vaksin tsb.
Penanggulangan KLB ini dapat dilakukan dengan deteksi dini kasus, pengobatan kasus dengan benar (pemberian antibiotik, isolasi hingga pemberian antitoksin), rujukan ke Rumah Sakit, Pemberantasan karir dan mencegah penularan. Semua hal ini harus melibatkan masyarakat, petugas kesehatan dan semua pihak terkait termasuk pemerintah setempat.