BELL’S PALSY BUKAN GEJALA STROKE


Walaupun sepintas gejalanya menyarupai stroke, Bell’s palsy bukanlah gejala stroke. Hal ini dikarenakan penyebab Bell’s palsy biasanya adalah infeksi virus (herpes, gondok, influenza, dan sejenisnya)serta paparan terhadap udara dingin. Sementara penyebab stroke berhubungan dengan gangguan saraf akibat sumbatan pembuluh darah otak. Bell’s palsy sendiri tidak menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan pada tangan maupun kaki.
Bell’s palsy adalah kelumpuhan pada otot wajah yang menyebabkan salah satu sisi wajah tampak melorot. Kondisi ini dapat muncul secara tiba-tiba, namun biasanya tidak bersifat permanen. Gejala Bell’s Palsy adalah kelumpuhan pada salah satu sisi wajah. Kelumpuhan tersebut ditunjukkan dengan perubahan bentuk wajah sehingga penderita sulit tersenyum dengan simetris atau menutup mata di sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan pada satu sisi wajah, gejala yang juga dapat muncul antara lain adalah mata berair dan hipersalivasi atau keluarnya air liur berlebih.
Penampakan klinis Bell’s palsy pertama kali digambarkan oleh Sir Charles Bell pada tahun 1821. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan nervus fasialis unilateral dengan onset akut, kurang dari 72 jam. Bell’s palsy relatif jarang ditemukan tapi bisa mengenai semua gender pada semua umur. Insidensi gangguan ini adalah 11,5 – 53,3 per 100.000 orang per tahun. Meskipun bisa mengenai siapa saja, namun insidensi terbesar Bell’s palsy ditemukan pada rentang usia 15-45 tahun. Meskipun risiko untuk laki-laki dan perempuan sama, namun prevalensi kasus ini meningkat pada ibu hamil
Untuk mendiagnosis Bell's palsy, dibutuhkan wawancara dokter dengan pasien. Dokter akan menanyakan riwayat penyakit pasien maupun keluarga, seperti diabetes melitus, hipertensi, gangguan telinga, riwayat stroke, gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya. Selain itu, dokter akan memastikan apakah lumpuh pada sebelah wajah tidak diikuti oleh kelumpuhan badan yang lain. Jika terdapat kelumpuhan, maka kemungkinan penderita terkena stroke.
Pengobatan Bell's palsy dapat berupa obat-obatan, fisioterapi, dan latihan mandiri. Jika pasien memiliki diabetes dan tekanan darah tinggi, dosisnya akan lebih ketat dan disertai kontrol untuk kedua penyakit tersebut. Antivirus dapat diberikan jika tidak ada gangguan fungsi ginjal. Bila mata pasien tidak bisa menutup, diperlukan tetes air mata untuk mencegah kerusakan mata. Pasien juga dapat menutup sendiri matanya setiap beberapa saat, agar mata tidak terlalu kering. Selain itu, pasien dapat melakukan terapi sendiri di rumah. Misalnya, menghadap ke cermin dan berlatih mengucapkan huruf A-I-U-E-O dengan otot-otot mulut bergerak secara maksimal. Bila kondisi semakin parah, segeralah berkonsultasi pada dokter.


Sumber :
1. de Almeida JR, Guyatt GH, Sud S, Dorion J, Hill MD, Kolber MR, et al. Management of Bell palsy: clinical practice guideline. CMAJ Can Med Assoc J. 2014; 186(12): 917–22. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4150706/)
2. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al. Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. Otolaryngol-Head Neck Surg. 2013; 149 (3_suppl): S1–27. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24189771)
3. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M. Bell’s palsy and autoimmunity. Autoimmun Rev. 2012; 12(2): 323–8. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22684016)